Perkembangan Ilmu Kimia

Sekitar tahun 3500 SM, peradaban Mesir kuno sudah mempraktikkan reaksi kimia. Pada masa itu telah diketahui cara membuat anggur, mengawetkan mayat, dan mengolah beberapa logam seperti tembaga dan timah.


            Sekitar abad ke-4 SM, para filsuf Ynani, termasuk Democritus dan Aristoteles, mencoba memahami hakikat materi. Menurut Democritus, materi bersifat diskontinu, terdiri dari partikel kecil yang disebut atom. Akan tetapi, Aristoteles menolak pendapat Democritus dengan mengatakan bahwa materi bersifat kontinu, tidak ada yang tidak berbagi.

            Pada abad pertengahan, yaitu dari tahun 500-1600, kimia lebih diarahkan ke segi praktis ketimbang pemikiran tentang hakikat materi. Pada masa itu, para ilmuwan arab dan Persia telah dapat membuat berbagai jenis zat, seperti alcohol, arsen, zink, asam iodide, asam sulfat, dan asam nitrat. Para ahli kimia abad pertengahan juga berupaya untuk mengubah beberapa logam seperti besi, tembaga, dan zink menjadi emas. Selain itu, mereka juga berusaha mencari obat mujarap yang dapat memperpanjang umur tanpa batas. Nama ilmu kimia lahir pada masa ini. Nama itu berasal dari Bahasa arab al-kimiya yang artinya perubahan materi. Nama itu diberikan oleh seorang ilmuwan arab terkemuka, yaitu Jabir ibnu Hayyan.


            Kimia modern dapat dikaitkan lahir pada abad 18, ketika ahli kimia dari perancis Antonie Laurent Lavoisier (1743-1794), melakukan serangkaian percobaan yang akhirnya menemukan hokum kekekalan massa. Pada tahun 1803, John Dalton (1766-1844), seorang guru sekolah dari inggris, mengajukan teori atom yang pertama. Sejak Dalton, ilmu kimia berkembang dengan sangat pesat. Pada tahun 1800, baru sekitar 30 unsur yang dikenal. Jumlah ini meningkat menjadi lebih dari 80 pada tahun 1900, dan kini sudah lebih dari 100 unsur. Sebanyak 90 unsur- unsur tersebut di alam, dan selebihnya merupakan unsur buatan.

Post a Comment

Previous Post Next Post